Cari Blog Ini

Rabu, 28 November 2012

...DOA SEORANG ANAK IKAN...




Senja ini, seperti biasa aku menanti kedatangan dua bocah bersaudara itu. Orang yang mungkin sengaja Tuhan kirimkan untuk menjaga dan merawat tempat kami yang selama ini tentram dan damai. Jauh dari hiruk pukuk kekacauan dan hingar bingar sekumpulan manusia tidak berguna. Sampah dan menyampah. Mengacau dan menghancurkan alam. Di balik belukar dan sema

k sejuk itu aku menantinya seorang diri. Harapanku masih mencuat meski terik mentari membakar permukaan bumi. Samar-samar aku menyaksikan permukaan riak air yang tenang. Belum ada tanda-tanda kedatangan mereka. Aku berjalan menuju rumah tetanggaku. Mereka tinggal di lantai lebih bawah dari rumah keluargaku.

“ Hai, Fin. Apa kamu melihat Rafa dan Alfi?” tanyaku pada Fino yang sibuk berkutat didepan mainannya. Dia melengosku. Tersenyum lalu menggelengkan kepala.

“ Kenapa halaman rumah kita sepi sekali? Yang lainnya kemana?” lanjutku.

“ Yang lain sedang berburu, ke hilir. Paling nanti sore mereka pulang. Lagian, kenapa kamu terlalu mengharapkan bantuan orang lain, sih? Kenapa tidak bekerja sendiri saja?”

Cemoohnya tanpa sadar dia juga sama sepertiku. Masih muda dan belum mampu bekerja. Aku bukan mengharap makanan yang mereka bawa. Aku hanya ingin menatap kedua wajah bocah yang selama ini merawat halaman rumahku. Aku sangat berjasa pada kedua saudara tampan itu. Dan aku senang jika bermain bersama mereka.

Nyaris langit terlihat gelap, namun aku masih belum melihat Rafa dan Alfi datang berkunjung ke tempat ini. Apakah mereka melupakanku?

Aku menyusuri tempat gelap ini seorang diri. Mencari sesuatu yang bisa menenangkan diri. Di balik kayu yang melapuk dalam genangan air di tepian napal itu aku berteduh. Sejuk dan segar membuat pernafasanku tenang. Gelembung insang ku sembulkan. Segar. Rumput liar meremajakan kulitku yang masih rentan.

Pluk. Mataku terbelalak. Aku melihat seutas tali masuk kedalam dengan mata pancing yang tajam mengerikan. Ini bukan Rafa dan Alfi. Ini pasti orang yang nakal. Pemancing liar? Bisa jadi. Aku menjauhi mata pancing yang mengancam jiwaku. Itu pesan ayah dan ibu. Jangan mendekati maut dan menghidarlah sejauh mungkin. Bisa saja aku bukan sekedar di pancing lalu di lepas karena aku masih terlalu kecil. Tetapi aku di bisa di jadikan umpan. Hiiiiiii. Aku belum mau mati. Aku masih ingin berenang hingga ketepian sepuasku dan melihat wajah dua saudara yang baik itu.

***

Seperti biasa. Senja ini aku masih menunggu. Kabar baiknya aku merasakan ada tanda-tanda kehadiran Rafa dan Alfi. Ya. Mereka datang. Byuuur. Aku ketawa girang. Ceria.

Aku melihat Rafa mencemplungkan kakinya perlahan ke atas napal yang panjang ini. Aku mendekatinya. Lalu ku mainkan sisik dan siripku di telapak kakiknya.

“ Kak, ikan itu mendekatiku.” teriak Rafa pada Alfi.

“ Jangan kau sakiti dia, biarkan ikan itu bermain sepuasnya. Kita hanya membersihkan rawa kecil ini dari sampah dan sisa-sisa racun juga ranjau dari mereka yang tidak bertanggung jawab.”

“ Kak, boleh aku memberinya roti?”

“ Boleh.”

Betapa bahagianya diriku. Rafa dan Alfi masih ingat padaku. Secuil roti tawar mereka lemparkan keatas permukaan air. Aku perlahan berenang mendekat ke permukaan. Rafa? Aku melihat wajah bocah itu tersenyum. Dia menatapku bias. Senyuman itu tanda ia tulus memberiku makanan. Terima kasih Rafa. Aku mencicipi rotimu yang enak. Terima kasih. Terima kasih sekali. Semoga Allah yang membalas kebaikan kalian nanti. Aku hanya ikan biasa yang tidak memiliki keistimewaan seperti kalian. Tapi Allah mampu mendengar doaku, dan juga doa keluargaku. Kami sempat teraniaya oleh mereka yang tidak berhati dengan membunuh beberapa saudara dan keluargaku lainnya. Dan kalian tahu doa makhluk yang teraniaya akan sangat didengar oleh Allah.

“ Ya Allah ya Tuhanku. Ampuni dosa dua bocah itu. Jadikan mereka pelindung rawa kami. Jadikan mereka pahlawan kami selamanya. Jangan biarkan mereka pergi meninggalkan kami tanpa kenangan. Aku ingin mereka selalu hadir setiap hari ke tempat ini. kabulkan Tuhanku. Kabulkan permohonanku. Amin.”

Selang beberapa saat, teman-temanku datang menghampiri. Mereka ingin mencicipi roti tawar pemberian Rafa dan Alfi.

“ Kak, lihat. Ikan-ikan itu semakin banyak.” Pekik Rafa.

“ Ya sudah, kamu tambahin rotinya. Biar semua kebagian.”

“ Kalau begitu, roti ini aku kasih semua ya kak?”

“ Ya. Biar ikan-ikan itu kenyang semua.”

Serta merta Rafa menaburkan semua potongan rotinya di atas permukaan rawa ini. Aku dan teman-teman berebut satu sama lain. Kami tertawa bahagia. Aku menikmati kebersamaan kami bersama dua anak manusia yang lembut hatinya itu.

“ Kak, aku mau memelihara ikan berwarna merah keemasan itu. Boleh ‘kan?” aku tersipu kala Rafa menunjukku. Aku mau Rafa. Aku mau kamu pelihara. Karena aku tidak punya keluarga selain pamanku. Tapi pamanku sekarang jauh.

“ Jangan Rafa! Itu tandanya kamu akan memisahkan dia dan keluarganya. Kasihan dia. kan masih kecil. Kalau dia menangis, kamu mau bertanggung jawab?”

“ Tapi, kak…”

“ Sudahlah, kita kemari bukan untuk menangkap ikan. Kita hanya membersihkan rawa dan memberi potongan roti untuk ikan-ikan itu. Bukan untuk menangkapnya.”

“ Ya sudah. Rafa nggak jadi deh ambil ikan itu.” desisnya cemberut.

***

Di bawah riak cahaya rembulan. Sebaris kata demi ucapan terus tedengar. Meski rawa kami jauh dari rumah Rafa dan Alfi. Kami bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, apa yang ingin mereka lakukan. Itulah kelebihan kami. Bisa merasakan getaran orang yang berhati baik. Kami peka terhadap Rafa dan Alfi. Bahkan kami bisa mendengar sesuatu yang gaib, seperti mendengar apa yang jin dan manusia tidak bisa mendengar. Seperti suara orang yang di siksa di dalam kubur. Suara jeritan menangis anak cacing di tepi rawa. Dan lain sebagainya. Itulah kuasa Allah. Tidak akan mungkin manusia dan jin memungkirinya.

Seminggu berlalu, suasana rawa ini kembali normal. Meski sisa-sisa duka dan kenangan pahit itu masih aku rasakan, tapi aku tidak ingin terus larut dalam kedukaan. Kedua orang tuaku di tangkap oleh pemancing liar. Mereka menjaring semua ikan besar di rawa ini. Ayah, ibu, kakakku. Hanya aku dan paman yang selamat. Meski usiaku masih muda. Tapi aku sudah mampu merasakan kepedihan. Aku butuh perhatian. Kini paman jarang pulang, dia bekerja keras untuk menghidupiku. Seorang diri.

***

Pagi yang cerah membuatku nyaman dalam hangatnya rumput jerami buatan paman yang sangat nyaman aku tempati. Dulu ayah Rafa dan Alfi memasukkan tumpukan jerami untuk keluarga ikan di rawa bertelur. Mereka keluarga yang baik dan perhatian. Mereka sayang dan hewan dan lingkungan. Itulah sebabnya aku berharap mereka mau mengadopsiku untuk menjadi ikan peliharaan. Itu pun jika mereka berkenan. Oh Tuhan. Kabulkan permohonanku.

“ Kak, ikan merah itu mana?” tanya Rafa pada Alfi siang ini. Aku yang ketakutan bersembunyi di balik belukar basah.

“ Mungkin dia masih di sarangnya. Kamu sabar aja. Nanti kalau kamu taburi roti, pasti dia akan datang.”

“ Tapi kak, ini aneh. Ikan-ikan ini seperti hilang begitu saja. Kemana ya mereka? Apa pergi ke hilir rawa sana?”

“ Bisa jadi.”

Oh Tuhan. Rafa dan Alfi tidak tahu kalau baru saja ada orang yang menaburkan racun di air ini. Orang itu juga memasang ranjau. Aku tidak bisa keluar karena permukaan air itu telah terkontaminasi. Jika aku nekat. Maka aku akan tewas. Dan di balik belukar ini aku masih bisa merasakan segarnya oksigen yang fresh. Rumput ini kata ayah mampu melindungi insang meski sesaat dari bahaya racun itu. Jika air perlahan di netralisir seiring mengendapnya racun. Aku baru bisa keluar. Tapi, aku sekarang berharap kalau mereka mau menunggu sebentar. Aku ingin ikut Rafa dan Alfi. Tuhan, tolonglah aku.

“ Kak, sepi sekali yah. Kemana ikan-ikan itu?”tanya Rafa sambil meraba tangannya kedalam belukar air dan lumpur.“ Sudahlah, rawa ini sudah bebas dari sampah, ayo kita pulang.” Sahut Alfi.“ Rafa masih mau disini. Menunggu ikan itu keluar.”ketus Rafa sambil menyusuri napal.“ Eh, ayo pulang. Nanti ibu mencari kita.” “ Kakak duluan saja. Aku masih menunggu ikan merah itu sampai muncul.”.

Rafa dan Alfi bertengkar. Mereka sepertinya saling adu mulut. Aku tidak bisa melihat karena pandanganku semakin kabur. Tetapi aku mampu merasakan mereka saling bersi tegang. Rafa tidak ingin pulang hingga dia benar-benar melihatku. Sedang, Alfi yang patuh dan taat pada ibunya ingin agar mereka segera pulang. Racun itu masih ada di permukaan. Aku yakin aku belum sanggup melawan kandungan zat berbahaya itu. Aku juga belum bisa menahan nafas panjang. Aku masih kecil. Aku belum mau mati. Tapi, jika aku berlama-lama di belukar ini, aku juga bisa mati karena insangku membiru. Terus aku mau bagaimana. Ikan lainnya sudah banyak yang di tangkap. Yang lainnya lari ke hilir dan mencari celah ke sungai, aku belum pandai melawan arus. Aku bingung. Sekarang aku harus apa?

***

“ Rafa, ayo pulang!” pekik Alfi sambil menarik Rafa yang sedari tadi mencoba mencariku.

“ Nggak mau kak, rawa ini sepertinya baru di tuba. Lihat, airnya keruh. Banyak udang kecil yang mati.” Kilah Rafa sambil menyusuri napal dan membongkar kayu kering di atas permukaan.

“ Kalau rawa ini di racun. Kita pasti melihat ada ikan yang mati. Tapi ini tidak ada sama sekali. Jadi, kamu nggak usah cemas. Ayo pulang. Ayah dan ibu mau pergi.”

“ Ya sudah. Kakak pulang saja duluan. Aku masih mau menunggu ikan itu keluar ke permukaan kak. Setelah aku memberinya sepotong roti. Aku baru mau pulang.”

“ Nggak bisa. Kamu tetap harus pulang.” Ketus Alfi sambil menarik Rafa. “ Nggak mau.” Rafa melepas tarikan kakaknya itu. Mereka bertengkar di atas napal. Beradu kekuatan.

Byuuuuurrrr.

Rafa tenggelam dan gelagepan diatas permukaan. Dia tidak bisa berenang. Aku merasakan guncangan air dahsyat menghempas belukar ini. Aku sempoyongan. Batuk. Kepalaku pusing. Rafa dan Alfi malah bertengkar. Mereka masih ribut. Perlahan aku sesak dan tidak bisa bernafas. Air keruh sepertinya berkomplotan dengan racun dan sukses membuatku kelimpungan. Aku benar-benar tidak bisa bernafas. Sementara itu guncangan dan hempasan air keruh terus menyambar tubuh kecilku. Gelap. Aku merasa perlahan air keruh itu terasa memedihkan mata, dan gelap. Setelah itu aku tidak tahu apalagi yang terjadi.

***

Perlahan cahaya matahari menyusup masuk kedalam kelopak mataku. Aku merasakan derasnya air menerjun di sekitar belukar. Perlahan-lahan aku mendengar keramaian di sekelilingku. Ada yang tertawa. Ada yang berteriak girang. Ada yang kejar-kejaran. Ada yang sesekali menepukku. Kepalaku yang pusing perlahan pulih dan kembali normal. Ku buka kulit mataku. Ahhhhhh. Sontak aku terbelalak. Tidak bisa ku percaya. Oh Tuhan. Ini keajaiban. Sunguh ini suatu keajaiban. Kulihat dengan jelas ikan-ikan dari jenis lain berenang menghampiriku. Mereka tersenyum melihatku. Jumlahnya tidak banyak. Tapi terkesan ramai. Karena mereka selalu tampak riang. Aku duduk sendiri di tepi dinding batu hitam ini. Air jernih dan sejuk membuatku bersih dan segar dalam bernafas. Warna sisik mereka indah dan menawan. Sedangkan aku, kurang menawan. Tapi aku ada dimana? Ini seperti kolam ikan. Aku lihat hal menakjubkan di bawah sana. Ada terumbu karang dengan warna warni yang indah. Ayah dulu pernah bercerita. Kakek kami sempat tinggal di laut. Dia hidup di lingkungan yang jernih dan menyenangkan. Di kelilingi terumbu karang yang indah. Apa aku di laut? Tapi aku kan ikan tawar. Lalu aku dimana ini?

“ Kak lihat, ikan itu sudah sadar.” Sontak aku terkejut mendengar suara Rafa ada di sekitarku. Haaaah. Aku semakin terkejut, aku dapat melihat Rafa berjalan mendekatiku. Dari balik dinding kaca ini Rafa meletakkan jari telunjuknya. Aku yang merasa bahagia mengahampiri dan mencium telunjuk jari itu meski terhalang tabir. Rafa tertawa.

“ Ikan merah. Mulai sekarang kamu aman. Kamu tinggal di dalam akuariumku yang besar. Kamu punya banyak teman. Tidak kesepian lagi.” Lirih Rafa padaku. Aku menitikkan air mata karena terharu bahagia.

“ Rafa, kamu kasih dong ikan merah itu dengan potongan roti.” Sahut Alfi yang datang dari kamarnya.

“ Ya, kak. Mulai sekarang, aku akan merawat anak ikan ini. Dia lucu yah?”

“ Hmmm.” Rafa tersenyum seraya memeluk Alfi bahagia. Sejak saat itu aku menjadi bagian dari binatang kesayangan mereka. Aku lebih terawat dan lebih merasa di perhatikan semenjak tinggal di akuarium ini. Aku bahagia sekali. Punya teman baru. Punya keluarga baru. Terima kasih Tuhan. Engkau telah mengabulkan doaku selama ini.

“ Kak, ikan merah ini apa namanya?” Rafa melirik Alfi.” Itu anak ikan Mas.”

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer